Pernahkah Kamu Berkunjung ke Angkringan?
Angkringan adalah tempat makan yang menawarkan berbagai pilihan makanan ringan hingga berat, serta aneka minuman, baik yang hangat maupun dingin. Di Jawa, angkringan sering disebut juga sebagai warung hik, dan mudah ditemukan di berbagai kota di pulau tersebut.
Angkringan tidak hanya menjadi tempat makan, tetapi juga tempat bersosialisasi. Selain itu, harga makanan dan minumannya sangat terjangkau, sehingga cocok untuk semua kalangan. Dalam artikel sebelumnya, kita telah membahas sejarah nasi kucing, makanan sederhana yang menjadi favorit pengunjung angkringan. Kali ini, mari kita telusuri lebih dalam tentang angkringan sebagai warung tradisional yang sangat populer di Yogyakarta dan Solo.
Asal Usul Nama dan Sejarah Angkringan
Kata "angkringan" berasal dari bahasa Jawa, yakni angkring atau nangkring, yang berarti duduk santai. Usaha ini pertama kali dirintis oleh seorang pedagang bernama Mbah Karso, yang berasal dari Desa Ngerangan, Bayat, Klaten. Pada sekitar tahun 1930-an, Mbah Karso merantau ke Surakarta untuk menjajakan menu khas bernama terikan, yang merupakan makanan hasil olahan bosnya, Bos Wono.
Seiring perkembangan waktu, usaha angkringan mulai mengalami perubahan. Dari awalnya hanya menjual terikan, kini mereka juga menawarkan kopi dan jahe yang disajikan dalam cerek. Menariknya, pada masa itu angkringan tidak menggunakan gerobak seperti sekarang, melainkan pikulan bambu, sehingga pedagangnya berpindah-pindah lokasi.
Baru pada tahun 1970-an, angkringan mulai menggunakan gerobak dorong yang dilengkapi terpal dan lampu sebagai penerangan. Meskipun awalnya hanya ada di Yogyakarta dan Surakarta, angkringan perlahan menyebar ke berbagai daerah. Di Yogyakarta, angkringan sering disebut kucingan, sementara di Surakarta lebih dikenal dengan nama hik atau hek.
Angkringan: Simbol Kebersamaan yang Merakyat
Angkringan adalah simbol dari kebersamaan. Pengunjung bisa duduk santai, menikmati makanan dan minuman murah sambil berbincang. Meski angkringan sekarang dikenal luas di Yogyakarta dan Surakarta, akarnya sebenarnya berasal dari Klaten. Bahkan, di Desa Ngerangan telah didirikan sebuah monumen pada tahun 2020 untuk memperingati asal-usul angkringan. Monumen ini berupa pikulan, yang melambangkan awal mula tradisi angkringan.
Meskipun menu terikan yang dulu dijual sudah jarang ditemukan, kini angkringan identik dengan nasi kucing dan berbagai pilihan makanan tusuk yang khas. Tak hanya itu, keberadaan angkringan pun telah meluas hingga ke luar Pulau Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, bahkan Sulawesi.
Angkringan kini menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kuliner Indonesia yang terus berkembang mengikuti zaman. Tempat ini bukan hanya sekadar warung, tetapi juga ruang sosial yang mempererat hubungan antarindividu di tengah kesederhanaan.
